INI YANG LEBIH BERBAHAYA DARI SELIMUT TETANGGA

Kamu udah tau dong sama istilah "selimut tetangga"? Istilah ini setau gue dipopulerkan sama salah 1 band Indonesia bernama Repvblik. Mereka punya hit single dengan judul "Selimut Tetangga". Dari sinilah istilah itu terkenal dan masih gue inget sampe sekarang.

Selama ini, gue kira selimut tetangga udah cukup berbahaya jika terjadi di dunia nyata. Ternyata masih ada selimut yang lebih berbahaya daripada itu. Kamu tau ga apa? Gue kasih petunjuknya deh: selimut ini ada hubungannya sama lingkungan.

selimut polusi



Selimut yang lebih berbahaya dari selimut tetangga adalah selimut polusi. Gue yakin masih ada yang belum familiar sama istilah ini. Wajar aja, karena cukup jarang didengar tapi udah sering kita rasakan dampaknya di kehidupan kita sehari-hari.

Gue juga baru tau istilah ini ketika ikut online gathering bersama Eco Blogger Squad hari Jumat yang lalu. Waktu itu pematerinya dari tim Pantau Gambut ID yang menjelaskan pentingnya menjaga lahan gambut untuk lingkungan hidup.

Kenapa jadi bahas lahan gambut? Apa hubungannya dengan selimut polusi?

Lahan gambut berdasarkan Permentan No. 14 Tahun 2019 merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun. Intinya lahan gambut adalah lahan basah (wetland) yang materi penyusunnya berupa bahan organik yang miskin hara dengan kondisi tergenang. 

Meskipun dikatakan miskin hara, namun kita ga boleh menyepelekan "bakat terpendam" si gambut ini. Kalo kamu hobinya memendam perasaan sama crush-mu, gambut memiliki "hobi" yang maha penting untuk keberlangsungan hidup di Bumi. Gambut dapat mengikat karbon yang ada di udara dalam jumlah yang sangat banyak!

Lahan gambut bisa memiliki 100-1300% dari berat keringnya. Artinya gambut bisa menyerap air sampai 13 kali bobotnya.  Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luasan lahan gambut kering terbesar di dunia. Menurut BBSDLP pada tahun 2019, Indonesia memiliki 13,43 juta ha lahan gambut. Dengan luasan lahan ini, diperkirakan lahan gambut di Indonesia dapat menyimpan sampai 57,4 gigaton karbon.

Apa pentingnya menjaga lahan gambut yang bisa menyimpan karbon?

apa itu lahan gambut

1 hal yang paling sering dibagikan oleh pencinta lingkungan, bahwa senyawa karbon merupakan salah 1 senyawa yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek inilah yang menyebabkan global warming di Bumi kita. Salah satu dampak global warming yang paling berasa saat ini adalah suhu makin panas dan cuaca jadi ga menentu.

Bahkan, bencana banjir dan tanah longsor juga jadi salah satu akibat dari pemanasan global ini. Maka dari itu, menyimpan carbon itu sangat penting tujuannya agar Bumi kita ini tidak menjadi semakin panas dan meminimalisir dampak dari krisis iklim yang sudah terjadi.

Gambut itu kayak lagu ST12 yang judulnya "1 jam saja". Lagu super galau zaman perkuliahan gue dulu. Salah 1 liriknya bilang begini "1 jam saja ku telah bisa cintai kamu kamu di hatiku, namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup". Gambut cuman butuh waktu sebentar untuk "dihancurkan" dan butuh waktu hampir selamanya untuk bisa terbentuk kembali.

Efek kehancuran lahan gambut ini sangat membahayakan dan bisa menyebabkan terlepasnya karbon ke udara bebas dan membentuk selimut polusi. "selimut" di sini ga bisa kita liat secara kasat mata. Namun bisa kita rasakan dampaknya. Selimut yang gue maksud adalah berkumpulnya polusi di udara dan menyebabkan cuaca ekstrem dimana-mana. Salah satu akibat dari selimut polusi yang bisa kita lihat/rasakan adalah langit udah ga berwarna biru lagi. 

Gue cukup yakin beberapa dari lu udah jarang ngeliat langit yang "bersih" berwarna biru seperti dulu. Biasanya kalo ga mendung karna mau ujan atau berwarna coklat/kekuningan karena banyaknya polusi yang dihasilkan. Cuaca yang kayak orang habis putus, labil banget, ntar ujan ntar panas,  juga salah 2 dari efek selimut polusi yang terjadi saat ini.

Kalo selimut ini dibiarkan berlama-lama, akan sangat berbahaya bagi kehidupan kita di masa depan. Gue khawatir 10-20 taun lagi kita bakalan sulit ketemu hutan yang alami terbentuknya, karena udah dialihfungsikan menjadi kawasan industri/kawasan tempat tinggal untuk kalangan tertentu. 

Gue khawatir efek berbahaya dari selimut polusi ini bikin kita kesulitan untuk mendapatkan akses air bersih dan layak konsumsi. Di beberapa negara udah mulai keliatan tuh akses air mulai sulit, meskipun ada, pasti kualitasnya jelek banget. 

Gue jadi takut bencana alam makin menjadi-jadi. Jangan cuman bilang bencana alam ada karena kehendak alam. Itu cuman pembenaran sesaat dan menyesatkan ujung-ujungnya. Menganggap bencana alam terjadi secara alami di zaman dulu, mungkin gue masih bisa terima. Kalo sekarang, gue hampir yakin "penyebab" bencana alam yang terjadi ada campur tangan dari manusia juga.

Meskipun mungkin ga secara langsung terjadi karena ulah manusia, namun krisis iklim yang memantik terjadinya cuaca ekstrim dan bencana alam juga harus diakui penyebab utamanya adalah manusia. Kalo saja manusia memikirkan masa depan lingkungan di sekitarnya, mungkin efek global warming ga akan separah sekarang.

selimut polusi, lahan gambut

Pemerintah Indonesia sendiri sudah memiliki BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) yang bertindak melakukan memfasilitasi percepatan pelaksanaan restorasi gambut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada areal restorasi gambut serta melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove di provinsi target.

Di Indonesia sendiri juga sudah cukup sadar mengenai tentang pentingnya peran lahan gambut untuk dilindungi, dijaga dan direstorasi sejak saat ini. Setidaknya ada 5 Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan lahan gambut, antara lain:
  • Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  • Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan
  • Undang-undang No.39 tahun 2014 tentang Perkebunan
  • Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
  • Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Di level Peraturan Pemerintah, ada 8 peraturan yang gue temukan, antaranya:
  • Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
  • Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
  • Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
  • Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
  • Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
  • Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
  • Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 2013 tentang Rawa
  • Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Selain itu juga ada Inpres/PerMen yang gue temukan tentang pengelolaan lahan gambut di Indonesia, antaranya adalah:
  • Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
  • Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah
  • Keputusan Presiden No. 80 tahun 1990 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
  • Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
  • Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit
  • Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 dan No. 6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
  • Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. 32 tahun 2010 tentang Tukar Menukar Kawasan
  • Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 tahun 2012 tentang Mekanisme Pencegahan dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
peraturan melindungi lahan gambut

Meskipun lahan gambut sudah dilindungi dengan UU dan Peraturan sebanyak ini, menurut gue ini pun masih kurang. Gue masih yakin di luar sana ada aja yang ngerusak lahan gambut untuk kepentingan pribadi atau perusahaannya tanpa tau akibatnya. Oleh karena itu gue akan coba berikan rekomendasi untuk bisa memberikan perlindungan yang lebih baik kepada lahan gambut di Indonesia.

1. Menganjurkan kepada semua industri yang mengharuskan mereka membuka lahan untuk memperbanyak kapasitas produknya untuk membangun/membuat ulang lahan yang baru yang kondisinya serupa dengan lahan yang sudah dibuka.

2. Meminta kepada pemerintah untuk bisa memperbanyak dan memperketat pengawasan terhadap penegakan peraturan mengenai penggunaan lahan gambut ini.

3. Mengajak masyarakat untuk menjaga lahan gambut di sekitar lingkungannya agar tidak disalahgunakan/dimanfaatkan secara sepihak oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan di daerah itu.

4. Laporkan kegiatan-kegiatan mencurigakan di daerah lahan gambut potensial, seperti membakar/membabat/memotong pohon yang dilakukan oleh orang tidak dikenal/tanpa memiliki izin melakukan kegiatan di daerah tersebut.

5. Melakukan boikot kepada perusahaan/individu yang melakukan tindakan semena-mena terhadap masyarakat yang melindungi/menjaga sekitar lahan gambut.

6. Memaksa pemerintah Indonesia untuk bisa lebih tegas, disiplin, dan tanpa pandang bulu menegakkan aturan demi menjaga kelestarian lahan gambut di Indonesia.

7. Memperbarui aturan-aturan yang sudah kadaluarsa/tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang. Agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk bisa menjalankan kegiatan ilegalnya terhadap lahan gambut.

Tentu gue berharap rekomendasi ini bisa dijalankan oleh semua pihak yang disebutkan. Jangan cuman "iya iya" doang tapi ga ada aksi konkritnya di lapangan. Janganlah mengorbankan kelestarian lingkungan hanya demi kepentingan segelintir orang saja. Coba pikirkan dampaknya di masa depan seperti apa.

QUIET QUITTING

Beberapa minggu yang lalu, gue sempat membaca sebuah konten di instagramnya TirtoID. Di konten itu ngebahas tentang masalah pekerjaan/karyawan yang sedang bekerja. Dijelaskan bahwa kalo sekarang tu lagi ngetrend yang namanya"quite quitting"

quite quitting itu sering dibilang ga produktif


Singkatnya, quite quitting itu adalah bekerja seadanya. Itu menurut penjelasan dari artikel yang ada di TirtoID mengenai quite quitting ini, ya. Menurut gue, quite quitting itu bukan bekerja seadanya. Kalo seadanya tuh kayak, males ga pengen maju/berkembang di kantor gitu loh jatohnya. Jadi kayak ga produktif aja di kantor, padahal ga kayak gitu.

Menurut gue, quite quitting itu justru sebuah pilihan hidup yang tepat. Terlebih untuk orang-orang kayak gue, yang memang tidak suka neko-neko dan juga menjilat atasan di kantor. Kerja ya kerja aja gitu, ga haus jabatan lah intinya. Tapi kalo ada kesempatan untuk bisa level up, gue akan mengubah mode jadi kompetitif.

Quite quitting bagi gue bukan bekerja seadanya, Lebih ke, bekerja yang efektif dan efisien aja gitu. Gue ga mau buang-buang waktu berharga untuk mengerjakan sesuatu yang bukan tanggung jawab utama/kewajiban gue di kantor. Terlebih ketika atasan kita ga mengerti kalo kita udah punya tanggung jawab duluan sebelum dapetin tugas sampingan yang baru.




Mau pake alasan apapun, gue ga akan bisa terima. Kecuali 1, kerjaan utama gue, dia yang backup in. Baru gue mau. Kalo kerjaan utama tetep harus gue-gue juga yang ngerjain, ntar dulu deh! Mending gue fokus ngerjain yang utama dulu.

Ibarat main game nih, ada yang namanya main mission dan juga side mission. Kalo kita ngerjain main mission digame, kita akan dapat hadiah biasanya. Kalo ga duit di dalam gamenya, skill point, atau apalah itu lah ya. Intinya kalo ngerjain main mission tu bayarannya gede lah!

Sementara kalo kita ngerjain side mission, tetap ada hadiahnya juga, tapi ga seberapa dibandingkan main mission. Nah, ini yang seru, meskipun kita ngerjain side mission sebanyak apapun, main mission kita ga akan ilang/digantiin sama player lain. Kita harus tetap ngerjain juga.

Kalo kita masukin ke dalam konteks bekerja sebagai/karyawan/bawahan, main mission adalah kerjaan utama kita di kantor. Sedangkan side mission adalah tugas tambahan yang bukan kerjaan utama kita. Paham kan maksudnya kalo udah begini?

Meskipun dijanjikan hal yang manis-manis di awal ketika ditawarin side mission, gue rasa sih ga akan terlalu banyak pengaruhnya di kerjaan kita. Terlebih ketika main mission kita tetap "ada" di sana. Karna ga ada yang bisa gantiin kita ngerjain hal itu.

Kecuali kalo misalnya lu emang jiwanya caper/menjilat ke atasan, yaudah gapapa kerjain aja tuh side mission sampe berbusa. Asalkan lu bisa handle semua dengan baik sih, bos lu juga lama-lama akan notice lu, sebagai karyawan yang bisa dimanfaatkan terus-terusan. hahahaha!!

Okey bad example, sorry about that.

Tapi, dalam kultur kantor yang toxic, yang mana gue rasa sih mayoritas dunia kerja di Indonesia seperti ini, kita ga bisa secara "sukarela" melakukan sesuatu yang ada di luar tanggung jawab kita. Karena, bukannya berharap dapat apresiasi dari atasan, bisa jadi lu justru dimanfaatin sama mereka.

Kalo lu yakin sama kultur kantor lu yang suportif dan positif, silakan dikerjain ya. Karna gue yakin rekan kerja lu akan bantuin kok. Tapi jarang banget ada atmosifr kantor yang sesempurna itu. Biasanya sih akan selalu ada aja manusia-manusia yang haus jabatan, cari muka sama atasan dan orang-orang yang iri dengan pencapaian kita.

Banyak yang memandang negatif dengan orang yang menerapkan quite quitting ini. Karena dianggap menjadi tidak produktif di tempat kerja. Mereka dianggap bekerja seadanya di kantor dan tidak ingin memberikan sesuatu yang lebih. 

Gue pribadi memandang quite quitting sebagai sebuah prinsip work life balance yang baik. Karena sebelum gue tau istilah ini, gue udah menjalankan hal ini duluan. Waktu gue pertama kali dapat kerjaan, gue udah bertekad untuk ga lembur di kantor dan ga bawa kerjaan kantor ke rumah. 

Gue menerapkan prinsip ini, agar gue bisa manage waktu kerja dengan efektif dan efisien di kantor. Selama kurang lebih 8 jam di kantor, akan gue manfaatkan semaksimal mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Kalo bisa langsung selesai ya bagus, kalo ga yaudah yang penting harus bisa selesai sebelum deadline yang sudah ditentuin.

Lembur pun gue jarang banget, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Meskipun kerjaan hari itu ga selesai, gue tetep ga mau lembur kalo memang belum terlalu urgent. Bahkan bawa pulang kerjaanpun bisa dibilang ga pernah.

Kalo Kerja Ya Di Kantor, Di Rumah Ya Beda Lagi

Analogi sederhananya gini, anggaplah sebuah tugas itu seperti baju yang lu pake. Ketika lu bertugas jadi seorang karyawan/pegawai kantor, lu pake baju karyawan. Ketika udah jam pulang, artinya tugas lu udah selesai jadi seorang karyawan di hari itu. Karena tugas lu udah selesai, lu ganti baju lagi dong. Jadi seorang anak/seseorang yang punya hobi tertentu.

Kayak gue deh ambil contoh, ketika udah pulang kantor, gue pake "baju" content creator. Ga lagi tuh gue ngerjain hal-hal berbau kantor lagi kalo udah keluar dari kantor, kalo ga ada urgensinya. Bukan urusan kantor ga penting, tapi ya karena emang udah beda jadwalnya aja gitu.

Itu sebabnya ketika ada yang bilang quite quitting itu menurunkan produktivitas, gue langsung ga setuju. Mungkin orang-orang yang bilang menurunkan produktivitas ini menganggap kalo menjadi produktif itu hanya bisa dilakukan di dalam urusan kantor aja. Padahal, dunia ini ga melulu tentang pekerjaan kantor semata.

Kita juga punya kehidupan lain, keluarga, temen, sahabat, pasangan, dll dkk. 

Justru dengan menerapkan quite quitting ini, hidup gue jadi lebih seimbang antara urusan kantor dan di luar kantor. Gue tetap bisa ngerjain kerjaan kantor sebagaimana mestinya, ketika pulang kantor, gue juga bisa jadi content creator. Ini keseimbangan hidup yang gue cari.

Ketika ada yang bilang produktif hanya bisa di kantor doang, mungkin dirinya lupa kalo ngelakuin hobi yang kita suka itu juga produktif. Ga jarang, orang-orang di kantor itu hanya buka game zuma/solitaire karena gabut. Masa itu bisa dibilang produktif sih?

Mungkin juga dia bingung mendefinisikan produktif dengan sibuk. Kalo produktif menurut gue, mengerjakan sesuatu yang memang seharusnya lu kerjakan semaksimal mungkin. Sibuk menurut gue, keliatannya banyak yang dikerjain tapi semuanya ga ada yang selesai.

Kalo lu nerapin quite quitting versi gue atau lu punya sikap sendiri untuk kerjaan kantor dan di luar kantor? Ceritain dong!