MURDER ON THE ORIENT EXPRESS REVIEW BAHASA INDONESIA

Kegemaran gue baca serial detektif waktu zaman SMP dan SMA bikin gue inget sama beberapa tokohnya. Dari detektif 3 sekawan yang punya "markas" di tempat tumpukan mobil rongsok, sampai 5 sekawan yang punya petualangan seru layaknya Scooby Do dan kawan-kawan. Hingga akhirnya gue menemukan Sherlock Holmes dan Detektif Conan.

MURDER ON THE ORIENT EXPRESS
via tirto.id

2 nama terakhir sedikit banyak ada hubungannya dengan karakter utama di film ini, Hercule Poirot. Namanya emang ga seterkenal Holmes dan Conan di Indonesia. Wajar sih karna peminat novel Agatha Christie termasuk jarang, apalagi di Banjarmasin. Jujur aja seingat gue buku Agatha Christie belum pernah ada yang dibaca. Di perpus sekolah dulu ada, tapi kurang tertarik.


Ketidaktahuan orang sama Agatha Christie menurut gue adalah faktor penentu nomor 1 kenapa film ini ga terlalu laris di bioskop Indonesia, khususnya Banjarmasin. Selama hampir 2 minggu, bioskop di sini cuma nyediain 1 studio aja untuk penayangan film ini. Waktu gue nonton waktu itu, studionya kosong hampir separuh. Mungkin karna jam penayangan yang terakhir kali, ya.


Yang jadi penentu nomor 2 karna judulnya. Ga kaya film-film lain, 20th Century Fox malah ngeluarin judul "Murder On The Orient Express". Gitu doang ga ada embel-embel lagi. Orang awam pasti bingung dong ngebaca judul yang gitu aja. Paling dikira film bergenre horror thriller gitu. Seandainya nyantumin nama "Hercule Poirot" di judul film, gue rasa orang bakalan aware sama film ini.


Dan belum tentu juga orang yang suka sama novelnya bakalan suka sama filmnya. Kadang ekspektasi pembaca novel itu kelewat tinggi mengimajinasikan seseorang dan kejadiannya. Udah banyak kok kejadian pembaca novel yang kecewa sama visualisasi dari novel favoritnya di film.





Jalan Cerita

Tapi kita emang ga bisa nyenengin semua orang, sih. Selalu ada pihak-pihak yang merasa dikecewakan karna udah terlanjur berekspektasi tinggi. Padahal bisa jadi director filmnya udah usaha mati-matian untuk memuaskan penonton. Termasuk film Murder On The Orient Express ini.

MURDER ON THE ORIENT EXPRESS
via rappler.com

Director-nya, Kenneth Branagh yang ternyata juga pemeran utamanya, bikin film ini semirip mungkin dengan keadaan aslinya. Walaupun ga semua tokoh di novelnya sama persis, tapi ga mengubah alur ceritanya, kok.

Jujur aja, filmnya dari awal ke tengah itu boring banget! Meskipun di awal ada scene ngenalin Poirot dengan cara yang keren, tapi ga terlalu ngangkat juga. Proses pengenalan karakter yang dangkal dengan durasi yang cukup panjang itu malah bikin penonton bosen. Si Pacar aja sampe ketiduran nontonnya.

Bisa jadi karna semuanya adalah karakter penting, makanya pengenalan karakternya ga terlalu dalam. Bahkan gue lupa kalo karakter itu ada dan pernah dikenalin di scene-scene awal sebelum naik kereta. Saking banyaknya sampe yang nonton bingung.

Bayangin aja, karakter yang terlibat itu 12 orang! Ditambah si Poirot. Walaupun mukanya beda-beda semua, tetep aja susah ngingatnya. Personil SNSD yang cuman 9 aja gue ga hapal, apalagi 12 biji kaya gini. Otak gue bisa keplintir sendiri.

Ada Yang Hilang

Sehebat-hebatnya detektif, pasti yang pengen kita liat adalah ketika dia berhasil ngungkapin pelakunya melalui analisa dan hipotesa-hipotesa akuratnya. Yang paling fatal di Murder On The Orient Express menurut gue adalah ada bagian yang menurut gue "hilang" di film ini. Kalian nanti bakal tau sendiri yang mana, kalo masih sempet nonton filmnya hehe.

kenneth branagh
via dailymail.co.uk

Bahasa kerennya ada "missing line" yang harusnya nyambungin alur ceritanya. Entah karena keterbatasan durasi, atau emang dari awal udah ga ada. Padahal menurut gue bagian ini adalah yang paling penting dari sebuah film detektif kaya gini. 

Ingat! Poirot itu detektif, bukan cenayang! Detektif ngumpulin fakta baru bisa analisa data dan bikin hipotesis. Kalo cenayang mah suka-suka dia aja mau ngomong apa, orang pasti iya-iya terus.

Menang Di Kumis

Ada 1 yang bikin Poirot bagus: kumisnya! Sebuah kumis panjang yang ikonik banget! Katanya Kenneth Branagh, sang sutradara sekaligus pemeran utama (maruk ye dia), dia sengaja nyiptain kumis palsu itu untuk jadi ciri khas Poirot. Kumis yang dia bikin ga sembarangan. Lekukan dan liukan kumis itu berdasarkan dari deskripsi Agatha Christie sendiri di novelnya. Kata Branagh sih Agatha cukup detail ngegambarin kumis itu di novel.

murder on the orient express

via pmcvariety.files.wordpress.com

Emang sih, kumis itu bikin Poirot jadi keliatan berwibawa, tegas dan lugas. Sekali ngebentak aja, aktor sekelas Jhonny Deep yang ikut main di film ini aja gentar sama kumisnya.

Murder On The Orient Express ini bagus seandainya kebosanan di awal sama di tengah bisa diminimalisir. Filmnya ngajakin yang nonton untuk ikutan mikir juga. Tapi karna keburu udah bosen duluan, jadinya agak kurang menikmati "pertunjukkan" Poirot menganalisa kasusnya.

Yang gue salut dari film ini adalah, nunjukkin sisi humanis seorang Poirot. Dimana dia justru melakukan hal yang ga seharusnya dilakuin seorang detektif. Dalam kasusnya kali ini Poirot ngelakuin "dispensasi". Gue justru seneng sama keputusannya. Mungkin karna dalam diri gue ada jiwa balas dendam kali, ya. Makanya suka ngeliat keputusan untuk mendispensasi pelakunya. 


*  *  *

Murder On The Orient Express ini ga ada adegan dewasa yang terlalu vulgar. Jadi aman untuk ditonton anak di bawah umur. Yah walaupun ada scene yang nunjukkin mayat tapi gue rasa masih dalam batas wajar, kok. Ga terlalu sadis ngeliatnya. Adegan pembunuhannya pun di sensor.

Kemungkinan ada kelanjutan dari film ini. Katanya sih gitu, tapi masih belum tau kapan dirilisnya. Gue rasa sih syuting juga belum. Semoga kelanjutannya punya kualitas yang lebih baik dari yang ini.

0 Comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar yang sesuai dengan isi dari tulisan ini. Hargai dengan tidak berkomentar sekadar hanya untuk menaruh link blog anda. Terimakasih. Buat yang terindikasi spammer, akan langsung saya hapus dan report spam.