Selesai Sudah

Orang bilang keluar dari zona nyaman itu ga enak. Kalo ga enak kasih kucing aja mendingan. Mencoba hal baru memang sulit, selalu saja ada hal-hal aneh yang dipikirkan. Orang yang bilang keluar dari zona nyaman itu ga enak, berarti belum pernah keluar dari zona nyaman sebelumnya. Termasuk saya, waktu dulu.

Untuk saya, zona nyaman itu duduk-duduk di kamar kos sambil internetan di depan laptop, nonton film, download film, nonton video di youtube, ngetweet, nulis di blog, kuliah sebentar, kerjain tugas seadanya, kalo ngantuk tidur, skripsi ga dikerjain. Padahal udah 8 semester dan udah ngambil mata kuliah Tugas Akhir waktu itu. Intinya zona nyaman saya adalah malas. Sulit sekali melawan rasa malas ini, apalagi setelah teman-teman se kos saya sudah lulus semua dan saya yang tertinggal. Semakin hari yang saya kerjakan semakin tidak berhubungan dengan tujuan menyelesaikan skripsi.

Perjuangan menyelesaikan skripsi yang benar-benar saya lakukan adalah ketika saya sudah tidak punya kamar kos lagi alias berhenti ngekos. Tepatnya bulan November 2014, saya akhirnya mengangkut semua barang-barang di kos kembali ke rumah ortu. Ada perasaan campur aduk di sana, karena saya merasa masih memerlukan kos itu untuk jadi tempat istirahat sepulang dari kampus, namun di sisi lain saya tidak mau membebani ortu saya dengan membayar kos tapi skripsi mandek. Semenjak itu saya harus bolak-bolak dari rumah ke kampus yang jaraknya 1 jam jika bersepeda motor. Dengan pengawasan ortu yang lebih ketat daripada di kos membuat saya menjadi kurang leluasa untuk malas, karena selalu diberondong dengan pertanyaan semacam "gimana skripsinya udah dikerjain hari ini?" atau "kapan mau nyelesein skrispsimu, udah bulan apa ini?" dan lain-lain.

Semakin hari semakin sering pertanyaan itu keluar dari mulut ortu saya, terutama ibu. Mau tidak mau saya harus memaksakan diri untuk mengerjakan skripsi saya. Halaman-halaman demi halaman saya coba tulis sedikit demi sedikit. Memulai sesuatu itu memang sulit sekali, namun jika sudah mulai semuanya akan lancar sekali. Dari yang hanya sehari cuma bisa dapat 1 halaman, sampai akhirnya dalam 1 hari bisa dapat 3-5 halaman skripsi. Kemajuan yang pesat karena di kos saya hampir tidak pernah mengerjakan skripsi sama sekali. Berada jauh dari pengawasan ortu membuat saya semakin terlena di zona nyaman. Saya teringat perkataan dosen saya, "kita harus bisa memilih antara berdiam diri di zona nyaman atau kita yang memaksa diri untuk keluar dari zona nyaman itu demi kebaikan diri sendiri"

FYI untuk di prodi saya, diperlukan 4 kali tahapan seminar dan sidang untuk bisa menyelesaikan skripsi (Tugas Akhir) ini. Yang pertama adalah seminar pra-proposal, setelah revisi pada pra proposal disetujui selanjutnya diadakan seminar proposal. Revisi lagi, sekaligus menjalankan penelitiannya hingga keluar hasil dari penelitian yang dilakukan selanjutnya menempuh tahap seminar progress. Seminar ini bisa dilakukan hanya dengan bertatap muka dengan dosen pembimbing dan penguji atau bisa juga dilakukan seminar dengan presentasi. Tergantung kebijakan dosen pembimbing masing-masing. Setelah revisi dari seminar tersebut disetujui, tahap berikutnya adalah seminar hasil. Selama proses yang ada kata 'seminar'-nya diperbolehkan ditonton oleh mahasiswa lain yang ingin melihat dan bertanya tentang penelitian si mahasiswa yang sedang presentasi. Tahap terakhir yang harus ditempuh adalah sidang akhir, dimana ini adalah tahap paling menentukan karena di sini kita benar-benar diuji baik dari dosen pembimbing maupun dosen penguji skripsi. Sepanjang itu proses yang harus saya dan teman-teman di prodi saya lalui untuk bisa lulus.

Proses yang paling membuat stress adalah antara selesai progress sampai ke sidang akhir. Karena banyak halangan yang membuat saya hampir menyerah untuk menyelesaikan skripsi saya pada bulan Januari. Mulai dari harus bolak-balik rumah ke kampus tiap hari, iya kalo cuacanya cerah, yang paling nyiksa itu kalo hujan deras, baju celana buku basah semua. Soalnya saya ga punya mobil jadi kemana-mana mesti pakai sepeda motor. Sampai ke dosen pembimbing yang sakit, saya hampir menunda sidang akhir saya ke semester depan karena ini.

Namun pada akhirnya semua itu saya lalui juga. Perlu kesabaran ekstra dan pikiran positif serta semangat yang terus dibakar untuk bisa menyelesaikan semua itu. Memang betul apa kata dosen saya waktu awal kuliah, dia bilang "Kuliah itu memang perjuangan, kamu berjuang buat dapat nilai sama dosen itu belum seberapa, perjuangan kuliah paling berat itu adalah dimana kamu harus melawan dirimu sendiri saat mengerjakan skripsi"
Waktu Yudisium
Menyelesaikan skripsi itu adalah perang melawan semua zona nyaman. Membuat kita mendorong diri sendiri untuk mengeluarkan seluruh kemampuan agar bisa beranjak dari situ. Melakukannya tidak bisa instan tapi juga tidak bisa santai. Melakukan secara instan bisa jadi tubuh kita shock sendiri. Melakukannya secara santai bisa membuat terlena.

Intinya adalah konsisten. Selama kita membuat perubahan yang konsisten untuk keluar dari zona nyaman, maka setelahnya pasti akan mudah. Dan ingat, selalu minta restu dari orang tua biar mereka selalu ngedoain kita.

Dengan kesaraban, pikiran positif, konsistensi, niat, dukungan orang tua dan sedikit keberuntungan akhirnya perjuangan saya untuk menyelesaikan skripsi saya selesai sudah.

Senyum Sumringah



Bukan Untuk Diperdebatkan

Udah lama banget mau bahas ini, tapi bingung mau mulai darimana. Saya kepikiran mau bahas ini ketika baca-baca komen member di trit suatu forum tentang tv series "The "Flash". Kalo kalian belum tau The Flash saya ceritakan sedikit ya. The Flash adalah superhero yang mempunyai kekuatan berlari dengan kecepatan super, tv series ini menceritakan tentang awal mula The Flash mendapatkan kekuatan supernya dan bagaimana dia mengembangkan kekuatannya setelah bertemu dengan tim dari laboratorium yang tertarik meneliti orang-orang yang mempunyai kemampuan super seperti The Flash.

poster tv series the flash

Awalnya komentar mereka tidak ada masalah. Tapi lama kelamaan semakin ga jelas. Semakin ga jelas ketika ada yang memasukkan unsur logika ke dalam tv series ini. Menurut saya ini udah salah, tv series macam ini tidak sinkron ketika memasukkan unsur logika.

Semuanya ga akan sinkron kalo ada 2 hal yang berlawanan digabung. Sama halnya menghubungkan agama dengan ilmu pengetahuan. Dua-duanya ga sinkron. Tapi bukan berarti dua-duanya salah. Tapi ada hal yang memang semestinya berdiri sendiri tanpa harus direcokin sama yang lain.

Jika itu fiksi, biarkanlah seperti itu. Jika memang bisa jadi kenyataan thats good. Tapi selama itu masih fiksi, jangan dicampur adukkan logika ke dalamnya. Oke lah kalo kita menggunakan logika untuk menganalisis suatu hal fiksi supaya kita ga keluar dari kenyataan yang ada. Tapi kalo sudah ngotot-ngototan mana yang lebih baik ya semua ga akan pernah selesai. Realita dan Fiksi itu masing-masing punya keunggulan masing-masing.

Raalita selalu identik dengan logika karena kita berpikir berdasarkan kenyataan yang ada. Realita terbatas karena ruang imajinasi yang sempit. Sementara fiksi justru keluar dari kemyataan, fiksi seolah memiliki ruang tidak terbatas untuk berimajinasi dan berkreasi. Semakin liar imajinasi yang dibayangkan semakin menarik. Itu teorinya. Tapi bisa aja realitanya ga begitu.

Ga cuma fiksi kok yang suka diserempetin ke realita, tapi realita kadang-kadang juga suka dicampurin sama fiksi. Contoh yang paling nyata ketika pilpres. Yang pertama saat pilpres berlangsung, dimana banyak sekali berseliwiran di twitter info-info tentang salah 1 pasangan pilpres menggunakan ilmu hitam untuk membuat calon lawannya kalah. Walaupun tidak terlalu dominan kampanye hitam dengan cara seperti ini, namun tentu saja membuat saya tertawa. Yang kedua adalah pasca pilpres, saat sidang gugatan dugaan kecurangan yang sistematis dan masif (kata si penggugat). Di tv ada liputan yang memperlihatkan seorang dukun sedang melakukan ritual supaya si penggugat bisa memenangkan sidang tersebut.
Hal yang bisa kita ambil dari sedikit cerita di atas yang pertama adalah pembuat cerita tentang salah 1 calon memakai ilmu hitam untuk membuat lawannya kalah itu udah kehabisan akal biar bisa bikin itu calon citranya buruk. Dan dia ga bisa liat kenyataan bahwa calon yang dia dukung itu udah kalah dari awal walaupun ga dipakein ilmu hitam. Yang kedua ketika sidang gugatan itu, nunjukkin kalo sebenarnya yang make ilmu hitam itu bukan si pemenang, tapi yang kalah. Dan dia ga bisa nerima kenyataan kalo dirinya emang ga bisa menang dari lawannya. Dia kalah semenjak dia nyalonin diri jadi presiden.

Bukan maksud saya untuk mengungkit masa lalu, namun ini hanya sekadar contoh bahwa realita dan fiksi itu bukan 2 hal yang bisa disatukan dalam hal tertentu. Jadi menurut saya, biarkan yang realita berada di batasnya dan biarkan fiksi berkreasi tanpa batas sesuai keinginan tiap orang. Jangan sampai karena hal ini kita jadi saling mencaci maki dan bermusuhan.

Karena perbedaan ada bukan untuk diperdebatkan.

Menulis Kembali

Akhirnya bisa nulis lagi setelah hampir sebulan vakum. Kangen juga ya ternyata. Emang kalo udah kebiasaan nulis tiap minggu kalo ga nulis sebulan lebih itu rasanya ada yang ngeganjel di sini *nunjuk hati*. 

Kalian sering ngerasa banyak banget yang pengen ditulis waktu ga bisa nulis? Itu kejadian juga sama saya beberapa waktu lalu. Rasanya banyak sekali hal yang harus ditulis saat itu. Dan kalo udah ada waktu buat nulis malah hilang semuanya. Mungkin ada baiknya kita punya catatan kecil atau punya notes di handphone kita. Biar ga lupa apa yang mesti kita tulis. Tapi sia-sia kalo kita punya catatan kecil atau notes kita-nya males nyatat.

Nah karena saya udah terlepas dari kehebohan skripsi yang melelahkan dan membuat stress maka saya bisa mengaktifkan blog saya ini. Menulis hal-hal yang ga penting untuk dibahas di blog ini. Mengekspresikan kegelisahan yang saya miliki dan mencoba mengeluarkan pendapat yang saya miliki.

Satu hal yang pasti, saya ga akan berhenti nge blog karena saya yakin dengan blog yang sederhana ini akan tercipta hal-hal yang tidak biasa.

Rumah

Buat saya punya pasangan itu ibarat rumah seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Pindah”. Kita mengisinya bersama dengan kenangan-kenangan yang pernah dilalui. Kita yang mengaturnya sedemikian rupa agar enak dilihat. Layaknya sebuah rumah, di situlah kita berdiam dan kembali pulang.

Jika berpacaran ibarat rumah, maka pasangan adalah partner kita. Dialah orang yang menunggu kita di dalam rumah itu, menunggu kita pulang tiap saat. Dan setia adalah peta yang mengarahkan kemana kita harus pulang.

Dalam perjalanannya setia memang tidak mudah. Karena semua orang berpotensi selingkuh. Yang pacaran jarak dekat saja diselingkuhi tidak tertutup kemungkinan yang LDR. Saya pernah mencoba LDR selama 1 tahun dan menurut saya tidak jauh berbeda dengan keadaan saat saya single. Hanya saja saya harus laporan setiap kegiatan saya pada mantan saya. Dan LDR tidak pernah berjalan mulus saat berhadapan dengan saya, sulit sekali. Daripada saya hanya menjalani hubungan semu karna tak pernah bertatap muka langsung dengannya, lebih baik saya akhiri hubungan itu.

LDR itu sulit, jangan ditambah sulit dengan berselingkuh, ngaku lagi. Ga perlu diperparah sampe ngasih sugesti kesetiaan : “Aku punya pacar lagi di sini, tapi tenang aja, kamu tetap orang yang akan mendampingiku di pelaminan” Hahaha.. sounds like bullshit to me. Itu ibaratnya dia tau rumah yang harus dituju yang mana, tapi dia nginep dulu di rumah tetangga (dan tetangganya itu ngerawat dia dengan baik ditemenin jalan-jalan, ditemenin makan, ditemenin tid.. *ilang sinyal*) karena rumah yang dituju belum jadi sementara kamu ada di dalam rumah yang belum jadi itu dan membangunnya dari awal untuk ditempati bersama dia. Gila ! Seputus asa itu kah sehingga harus mempertahankan hubungan seperti itu?

Kalo pacaran aja udah LDR dan dia ngaku ga setia apakah kamu masih mempertahankan dia karena dijanjikan menikah dengannya? Seyakin apa kamu dia ga akan ngulangin kelakuannya saat pacaran ketika kamu menikah sama dia nanti? Well i guest you very brave to take that risk.

Tapi ini bukan saya yang menjalani, kalian yang melaluinya. Dan saya hanya melihat dari sisi yang bisa saya lihat. Saya tentu tak berhak tau apa yang seharusnya tidak saya ketahui. Dan kemungkinan seperti itu pasti ada, bisa jadi itu faktor yang menentukan untuk menjalani hubungan kalian ke depan.
Saya tau sulitnya menjalani LDR dan tidak bertemu orang yang saya sayangi dalam waktu lama. Namun belum tentu kalian seperti itu. Intinya ada di diri kalian masing-masing, kata ibu saya kalo udah nikah itu ada salah satu pihak yang harus mengalah. Tetapi tidak setiap saat mengalah, itu penjajahan namanya.


Karena sebaik-baiknya rumah adalah hati yang terjaga. Rumah yang penghuninya sama-sama merasa nyaman berada di dalamnya. Dan saling menuntun agar tak tersesat menemukan jalan pulang.
Seedbacklink